Selasa, 01 Maret 2011

Profesi: Balada Pencari Kristal



Nama kroto bagi penggemar burung berkicau, sudah bukan barang baru lagi. Kroto adalah telur semut rangrang untuk makanan burung berkicau yang warnanya putih mengkilap laiknya sebuah kristal. Keberadaan kroto ini terdapat pada daun-daun pepohonan yang tinggi.
Dedaunan ini merupakan tempat bersarangnya semut rangrang yang membentuk sebuah koloni. Dengan perekat khusus, beberapa helai daun disatukan hingga membentuk sebuah ruangan yang cukup besar dan didalam ruangan inilah semut rangrang menjaga semua telur-telurnya.
Dan bukan rahasia lagi kalau untuk mengambilnya butuh perjuangan ekstra keras mengingat semut rangrang akan melawan dengan gigitannya.
Namun hal ini tidak berlaku bagi Mat Yasin, bujangan umur 39 tahun ini sudah hampir 15 tahun menggeluti dunia kroto. Benar, dia berprofesi sebagai pencari kroto. Pagi hari sebelum pukul 07.00, Yasin, begitu dia disapa, sudah mulai bergegas dari rumahnya yang ada di Desa Kedungrejo Waru. Dengan mengendarai sepeda pancal serta membawa galah panjang yang diujungnya terdapat kantong kain, dia mulai mencari pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Ditelusurinya setiap jalanan mulai ia berangkat hingga ke desa tetangga. Tak jarang pepohonan yang ada di halaman rumah tetangga menjadi sasarannya. Sesekali dia menengadah keatas melihat disetiap pucuk daun untuk memastikan apakah ada geromboan semut di sana.
Setelah dipastikan ada, Yasin pun mulai mempersiapkan peralatannya yang diletakkan di sepedanya. Sebuah galah sepanjang tiga meter disandarkan ke sebuah pohon mangga. Di ujung galah, terdapat jala terbuat dari kain yang halus.
Jala tersebut berfungsi untuk tempat kroto atau telur induk semut rangrang yang terjebak Ia lalu mengeluarkan sebuah saringan terbuat dari bambu berdiameter 30 sentimeter. Galah pun diangkat untuk mengenai dedaunan.
Tidak beberapa lama, ratusan koloni semut merah pun mulai keluar dari sarangnya. Tak beberapa lama, ratusan kroto mulai jatuh tepat mengenai jala. Merasa sudah mendapatkan buruannya, Yasin kembali mengoyang-goyangkan galah yang dipegangnya dengan sasaran pucuk daun yang berbeda. Mengapa harus memakai galah?
“Biasanya kroto itu adanya dipucuk pohon yang tinggi jadi tidak mungkin kalau dipanjat. Juga untuk menghindari serangan semut rangrang berupa gigitan yang terasa panas,” ujar Yasin pada PENA.
Harus Niteni
Rata-rata dalam sehari Yasin bisa mendapatkan kroto sebanyak 2,5 kilogram. Ini kalau lagi musim kemarau, tetapi kalau musim hujan seperti saat ini, Yasin sering juga mendapat kroto hanya 1 kilogram. “Bulan-bulan hujan kayak gini ini, semut rangrang jarang bertelur, mungkin kalau bertelur akan rusak kena terpaan air hujan,” tutur pria tamatan SD ini.
Setiap hari dalam mencari kroto tak jarang hingga menjelang Mahgrib dia baru pulang. Kroto yang didapat dijual pada penjual burung dibeberapa tempat di kawasan Waru dan Sedati. “Perkilonya saya jual dengan harga Rp 30 ribu ini kalau musim hujan sedangkan musim kemarau biasanya turun jadi Rp 25 ribu perkilo. Hasilnya, lumayanlah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” kisah Yasin.
Kalau stok kroto dipepohonan tetangga habis, Yasin akhirnya mencari ‘kristal’ ini hingga daerah pertambakan dikawasan Sedati. Diantara dedaunan bakau, semut rangrang banyak meletakkan telur-telurnya. “Kalau kroto tambak itu besar-besar tapi ya risikonya semutnya juga lebih kereng kalau menggigit,” aku Yasin yang pernah digigit puluhan semut rangrang di tambak hingga badannya bentol-bentol dan memerah lagi panas.
Berburu kroto ternyata tidaklah mudah. Agar tidak digigit rangrang, Yasin mengaku memiliki teknik sendiri menghalaunya. Teknik yang dimaksud, kata Yasin, yakni tidak sekali-kali melawan angin saat hendak memetik sarang rangrang. Jika tetap melawan angin, alamat bukan hasil yang didapat tersebut, melainkan rasa sakit dan kerja yang sia-sia.
“Ada lagi yang sering juga saya lakukan untuk mengusir semut rangrang dari sarangnya yakni dengan memberinya tulang yang sudah dibakar, diletakkan menggantung disamping sarangnya. Tak lama, semut akan mengerubuti tulang ini ketika sudah banyak maka saya ambil tulang ini dan saya jauhkan dari pohonnya maka terbebaslah dari serangan semut,” urai Yasin.
Masih menurut Yasin, seorang pencari kroto harus memiliki ingatan yang kuat. “Harus niteni sarang semut yang sudah bertelur dan yang belum juga pohonnya. Setidaknya, panen kroto dari satu pohon ke pohon lain dapat dilakukan setengah bulan sekali,” katanya.
Pasalnya, menurutnya, rangrang memiliki kebiasaan membuat sarang dan bertelur setelah sarang lama hilang. Umumnya pemburu rangrang paham betul kebiasaan ini. Sebab itu, setiap mengambil sarang rangrang di sebuah pohon, pengambilan kembali mereka lakukan kembali pada setengah bulan kemudian. ’’Hasilnya banyak dan kualitasnya juga bagus,’’ kata Yasin. Sebelum dijual ke penjual pakan burung, kroto dibersihkan dari dedaunan ataupun kotoran lain karena ini akan berpengaruh pada harga kroto. (YUS)

Tidak ada komentar: