Kamis, 28 Juni 2012

Candi Tawang Alun Buncitan Sedati Sidoarjo


 Banyak Keunikan, Jauh dari Penelitian
2007
Juni 2012
Untuk menemukan kawasan candi yang satu ini memang gampang-gampang susah. Walau tanya kepada penduduk setempat ternyata tidak semua mengetahui situs candi Tawang Alun ini. Mereka selalu menunjuk kearah desa Tawang Alun bila ada yang menanyakan letak candi Tawang Alun. Padahal letak desa Tawang Alun dengan candi Tawang Alun ini cukup jauh sekitar 3 Km dari arah desa Tawang Alun kea rah timur. Tepatnya candi Tawang Alun berada di desa Buncitan dan posisinya persis dibelakang kompleks Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) Buncitan kecamatan Sedati.
Jalan menuju petilasan candi Tawang Alun tidak bisa dibilang mulus. Ketika dari jalan raya Sedati-Kalanganyar masuk sudah disambut dengan tatanan paving yang sudah banyak yang aus tergerus air dan cuaca. Jalan paving inipun tidak terlalu panjang kurang lebih 500 meter lalu kita melewati jalan makadam bertanah liat campur batu kapur. Dibelakang rumah warga inilah ada sebuah gunung kecil (gundukan tanah liat berkapur) yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan dengan tumpukan bata merah tersusun agak rapi.
Untuk memastikan bahwa itu merupakan sebuah bangunan candi kita mesti bertanya kepada warga yang mukim disekitar lokasi ini. Atau bertanya pada seorang penjaga/juru rawat candi yang setiap saat selalu hadir di sekitar candi  ini. Maklum saja, karena papan penunjuk ataupun papan yang bertuliskan CANDI TAWANGALUN dengan huruf kapital itu kini sudah tidak ada lagi.
Menyiangi rerumputan didinding candi
“Saat ada hujan yang disertai angin kencang, papan nama dan penunjuk tempat candi berada diterbangkan angin dan hingga kini belum terpasang penggantinya. Jadi tidak salah kalau banyak pengunjung yang ingin melihat candi Tawang Alun untuk pertama kalinya merasa kesulitan,” ujar Ahmad Syaiful Munir, juru rawat candi Tawang Alun kepada PENA akhir Juni lalu.
Kalaupun ada pengunjung yang sudah terlanjur masuk desa Tawang Alun maka akan menemukan banyak hamparan tambak yang sebetulnya di dalam tambak itu ada banyak tatanan batu petilasan. “Ya, di kawasan tambak sana, ketika petani tambak ini mengeruk lumpur tambaknya maka mereka banyak menemukan tatanan batu petilasan kuno. Batu bata merah yang besarnya dua kali dari bata merah sekarang, ini seringkali dijadikan jalan darurat diantara tambak. Sebenarnya sangat disayangkan tapi itu khan tambak mereka dan mereka butuh makan jadi keberadaan bata kuno tadi ya diabaikan begitu saja,” lanjut Syaiful yang asli Buncitan.
Untuk bisa mencapai lokasi candi Tawang Alun ini, pengunjung akan disambut oleh bau belerang yang cukup menyengat hidung. Apa pasal? Tanah lokasi candi Tawang Alun berada diatas gunung kecil walau begitu di gunung ini juga mengeluarkan lumpur panas, air panas dan uap air panasnya mirip lava gunung berapi. Dari asap yang keluar ini memunculkan bau belerang.
Flora Fauna Endemik
Umbi beluntas
“Air lelehan lava ini bila terkena tanaman akan mati untuk itulah saya mencoba memisahkannya. Air yang berwarna keruh ini saya pinggirkan dan air yang bening inilah yang saya tampung dan setelah dingin saya gunakan untuk menyiram tanaman dan bunga di sekitar candi,” urai Syaiful sambil membuatkan jalan bagi lelehan lava yang keluar dari tanah disekitar candi Tawang Alun.
Puncak dari gunung ini tingginya sekitar 10 meter tanahnya berupa sertu, tanah liat kuning bercampur batu kapur. Dari gundukan tanah ini muncul puluhan semburan lumpur dan air panas dengan diameter lubang antara dua sentimeter hingga empat sentimeter. Lubang ini menyebar hampir diseluruh penjuru gunung. “Saya mencoba menutup lubang lava ini yang berada didekat candi karena saya takut candi akan tergerus rusak oleh panasnya uap yang muncul, caranya ya dengan membuatkan aliran airnya biar menjauh dari candi. Karena kalau ditutup bukan malah berhenti malah akan muncul lubang lava baru dan makin mendekati candi ini,” ujar bapak tiga anak ini.
Usaha untuk menampung lelehan air panas ini Syaiful lakukan dengan menggali lubang berdiameter 1 meter dengan kedalaman 1 meter yang letaknya ada didepan pintu masuk di kawasan candi Tawang Alun ini. Alhasil, tanaman bunga bougenvile, euphorbia, klampis, sansiviera, serta beberapa pohon adenium sebagai pagar lokasi candi bisa hidup walau keadaannya tidak bisa dibilang segar.
Tanaman semak yang bisa hidup dikawasan panas ini adalah pohon beluntas. “Dan ada satu keanehan yakni disetiap akar beluntas pasti ada umbinya mirip bengkoang. Sepertinya ini cadangan air beluntas ketika masuk musim kemarau,” kata Syaiful sambil menunjukkan umbi beluntas sebesar kepalan tangan anak kecil.
Lelehan lava yang dialirkan
menjauh dari candi
Hewan yang ada dikawasan ini dan biasa bertengger dan membuat sarang di pohon klampis adalah burung tekukur, perkutut, cendet, kutilang dan glatik Jawa. Khusus untuk burung Glatik Jawa ini yang sudah masuk hewan langka dan dilarang diburu/dipelihara, dikawasan candi Tawang Alun ini masih banyak ditemukan hidup berkelompok yang rata-rata jumlahnya 10 ekor/kelompok.
Warisan Majapahit
Keunikan yang ada di candi Tawang Alun ini bukan hanya pada flora fauna endemiknya melainkan juga keadaan bangunan candi itu sendiri menyimpan banyak misteri. Bentuk bangunan candi yang hampir mirip bangunan candi-candi yang ada di Sidoarjo dan Trowulan Mojokerto ini diperkirakan warisan jaman kerajaan Majapahit. “Hanya saja bentuk bangunannya yang sedikit aneh yakni ini mirip pondasi sebuah candi tetapi ada lubang ditengah bagian atas candi yang disebut sumur windu. Sumur windu ini bila kemasukan air seberapa banyak airnya tidak akan tumpah dan langsung habis padahal dasarnya sumur yang sedalam 2 meter ini tertutup bata merah,” urai Syaiful sambil menjelaskan kalau lebar dan panjang candi Tawang Alun 4 meter dan tingginya sekitar 2 meter.
Sejak tahun 2003 Syaiful sudah dipercaya menjadi juru rawat candi Tawang Alun. Dan sejak tahhun 2007, Syaiful mulai mengadakan pembenahan-pembenahan pada bagian fisik candi. “Banyak bagian-bagian candi yang lubang serta batanya banyak yang diambil warga sekitar. Ini menyebabkan candi sudah tidak ada bentuknya kalau dilihat sekilas seperti onggokan bata merah yang tiada arti. Melihat kondisi yang mengenaskan ini, saya berusaha merekontruksi bentuk candi Tawang Alun seperti saat saya kecil dulu bentuknya,” tutur Syaiful sambil menjelaskan kalau batu yang dipakai untuk menambal bagian yang lubang tadi merupakan kumpulana dari bata merah, bata putih ataupun bata kali yang sejaman dengan umur candi ini. Syaiful mendapatkan bata-bata tadi dari pencariannya ke berbagai penjuru desa Buncitan dan Tawang Alun. Sehingga bentuk candi Tawang Alun bisa kita nikmati seperti sekarang ini.
Sama dengan candi-candi lain di Sidoarjo, Candi Tawang Alun pun merupakan warisan Majapahit. Model batu bata merah, konstruksi bangunan, lokasi, semuanya khas Majapahit. Entah mengutip dari sumber mana, Syaiful Munir menyebutkan, Candi Tawang Alun didirikan pada 1292 pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun). Sang raja punya selir bernama Putri Alun. 
Masih menurut Syaiful, Candi Tawang Alun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Syaiful juga meyakinkan, Candi Tawang Alun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta  warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh.
Meski dipersembahkan untuk Putri Alun, tutur Syaiful, Candi Tawang Alun sejak dulu dianggap sebagai monumen milik warga asli Buncitan. Mereka percaya bahwa cikal-bakal dusun di tengah tambak itu tak lain didirikan oleh Putri Alun. Karena itu, setiap 1 Syuro warga ramai-ramai melakukan tasyakuran di kompleks Candi Tawang Alun.
Meskipun tersusun dari bata merah tapi tak satupun bata merah ini mengalami kerusakan, bahkan tim purbakala dari Trowulan juga heran dengan keadaan candi Tawang Alun. “Mereka tidak percaya kalau bata merah yang menyusun candi ini masih kuat padahal tempatnya ada dipantai dan berair asin yang seharusnya bata merahnya lebih mudah lapuk,” jelas Syaiful.
Bersahabat Alam
Hasil karya pengunjung yang
memanfaatkan barang bekas
PENA sempat mencermati daftar tamu yang tertulis di buku tamu yang khusus disediakan Syaiful. Terbanyak dari kalangan siswa SD yang datang secara beramai-ramai, beberapa mahasiswa dan beberapa keluarga. “Sepertinya Anda ini orang Diknas pertama yang datang kemari,” seloroh Syaiful kepada PENA.
Syaiful mengaku sangat senang bila kedatangan tamu dari kalangan siswa terutama siswa SD. “Mereka masih polos dan sudah seharusnya diberi pengetahuan tentang sejarah nenek moyangnya dengan benar. Bukan pada sisi mistisnya melainkan sisi sejarah dan pengetahuannya. Bahkan kalau ada yang kesini, anak-anak SD ini saya ajak bermain sambil mengenal alam disini,” kata Syaiful yang juga seorang seniman ini.
Siswa SD yang datang akan diajari untuk bikin sketsa dengan menggunakan tinta terbuat dari getah tanaman atau membuat kerajinan, mainan dari bahan-bahan bekas. Misalnya dari sabut kelapa Syaiful mengajarkan pada anak-anak, bahan ini bisa dibuat menjadi aneka mainan. Batok kelapa menjadi topeng dan hiasan dinding. “Apalagi kalau mereka jauh-jauh hari sudah memberitahu kalau akan kesini pasti akan saya siapkan semua bahan-bahannya,” ujar Syaiful penuh semangat.
Di pos penjaga berukuran 5 x 5 meter yang letaknya tak jauh dari bangunan candi Tawang Alun, setelah membersihkan candni dari rumput yang menempel didindingnya, Syaiful menggeluti profesi senimannya. Berteman palu dan betel/tatah, Syaiful mulai membentuk sekumpulan fosil kerang yang membatu untuk dibentuk menjadi arca/patung.
Kecintaan Syaiful kepada sejarah nenek moyangnya, pengabdiannya yang tanpa pamrih ini seharusnya disambut baik dengan adanya kepedulian pihak terkait untuk melakukan penelitian serta turut serta merawat juga melestrikan salah satu cagar budaya yang ada di desa Buncitan ini. YUS
Naskah dan foto:Yupiter Sulifan

Selasa, 26 Juni 2012

REOG CEMANDI SEDATI SIDOARJO


Reog Cemandi, Fatwa Kyai untuk Usir Kompeni
Cak Susilo, ketua reog Cemandi
Mendengar nama reog, ingatan kita tertuju pada kesenian khas Ponorogo. Wajar saja karena kesenian reog sudah identik dengan Ponorogo. Tapi nama reog yang satu ini jauh dari kota Ponorogo, reog Cemandi namanya.
Sesuai dengan namanya, kesenian reog ini berasal dari desa Cemandi kecamatan Sedati. Sebagai salah satu kesenian khas Sidoarjo, reog Cemandi memang belum setenar reog Ponorogo. Bahkan banyak warga asli Sidoarjo sendiri yang belum tahu kalau ada kesenian reog khas daerah pesisir ini.
Personil Reog Cemandi
“Bisa dimaklumi, kesenian reog Cemandi ini seolah hanya milik warga Cemandi atau Sedati saja padahal banyak warga luar daerah yang mengaguminya dan selama ini yang mau nanggap reog Cemandi ya warga Sedati sendiri. Kalaupun ada acara kesenian di kabupaten ya kami diundang untuk pentas, inipun hanya sebatas seremonial saja bukan rutinitas,” tutur Susilo salah seorang motor reog Cemandi pada PENA awal Juni lalu.
Menanting kendang
Seperti saat mereka tampil di pendopo sebelah utara Alun-alun Sidoarjo beberapa waktu yang lalu, pria bertopeng itu berdiri dengan gagah. Badannya berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang yang ditabuh enam orang di sampingnya. Tangan kanannya mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang. Lantas kepalanya melongok ke kiri dan ke kanan. Sorot matanya menatap tajam. Ini adalah sekilas adegan yang sedang dimainkan oleh penari Barongan lanang, salah satu tokoh dalam pertunjukan reog Cemandi.
Reog Cemandi adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu mulai muncul tahun 1922. Reog Cemandi berbeda dengan Reog Ponorogo. Tidak ada warok. Topengnya pun tidak dihiasi bulu merak seperti ciri khas yang ada pada reog Ponorogo. Irama musik yang dimainkan pun cukup sederhana. Hanya memainkan angklung dan kendang kecil. Kendang dan angklung itu ditabuh mengikuti irama.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 11 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan tiga pemain angklung. “Beberapa pemain diantaranya sudah lanjut usia dan ada yang sudah meninggal dunia. Untuk regenerasi pemain ini yang menjadi masalah bagi kami,” urai Susilo selaku koordinator reog Cemandi. Banyak generasi muda yang sudah diajak Susilo ini enggan untuk berlatih reog apalagi bergabung. “Alasannya sepele, mereka malu menari-nari dihadapan orang banyak,” ujar Susilo yang mengaku kalau anak sulungnya mempunyai minat dengan reog Cemandi ini.
Yang menjadikan kesenian ini menjadi khas adalah peralatan yang digunakan saat tampil adalah peralatan asli sejak kesenian reog Cemandi ini lahir. Enam gendang, dua topeng dan tiga angklung digunakan pemainnya selama turun temurun hingga generasi kelima yang dipimpin Susilo saat ini.
Tolak Bala
Memang, Reog Cemandi hanya ada satu yakni di Desa Cemandi kecamatan Sedati Sidoarjo. “Ini sudah dipakai sejak generasi kelima. Tiap malam Jumat peralatan itu pasti dikasih uba rambe (sesajen) agar tetap awet,” lanjut pria yang akrab disapa cak Silo ini.
Barongan lanang
Barongan wadon
Saat memainkan tarian ini, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk formasi melingkar sambil mengikuti irama.
Dua penari itu berlenggak-lenggok disamping penabuh gendang. “Kalau penari Barongan menari seperti biasa, sedangkan penabuh gendangnya membuat formasi melingkar membuat gerakan seperti pencak silat,” imbuh cak Silo.
Dulunya, reog Cemandi adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Kala itu, salah seorang kyai dari Pondok Sidoresmo Surabaya, menyuruh beberapa warga Cemandi untuk mencari kayu nangka sebanyak enam batang dengan ukuran masing-masing 50 cm. Juga disuruh mencari kayu randu dengan panjang satu telapak kaki orang dewasa. “Rupanya sang kyai ini menyuruh warga untuk membuat kendang dari enam batang pohon nangka tadi lalu dari kayu randu tadi dibelah jadi dua dan digunakan untuk topeng. Topeng ini dibentuk menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah kompeni yang akan memasuki desa Cemandi,” urai cak Silo tentang sejarah reog Cemandi secara rinci.
Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam syair pangelingan (pengingat)  yang dilantunkan pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling Gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap cak Silo menirukan syair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi. (naskah dan foto: Yupiter Sulifan)