Selasa, 26 Juni 2012

REOG CEMANDI SEDATI SIDOARJO


Reog Cemandi, Fatwa Kyai untuk Usir Kompeni
Cak Susilo, ketua reog Cemandi
Mendengar nama reog, ingatan kita tertuju pada kesenian khas Ponorogo. Wajar saja karena kesenian reog sudah identik dengan Ponorogo. Tapi nama reog yang satu ini jauh dari kota Ponorogo, reog Cemandi namanya.
Sesuai dengan namanya, kesenian reog ini berasal dari desa Cemandi kecamatan Sedati. Sebagai salah satu kesenian khas Sidoarjo, reog Cemandi memang belum setenar reog Ponorogo. Bahkan banyak warga asli Sidoarjo sendiri yang belum tahu kalau ada kesenian reog khas daerah pesisir ini.
Personil Reog Cemandi
“Bisa dimaklumi, kesenian reog Cemandi ini seolah hanya milik warga Cemandi atau Sedati saja padahal banyak warga luar daerah yang mengaguminya dan selama ini yang mau nanggap reog Cemandi ya warga Sedati sendiri. Kalaupun ada acara kesenian di kabupaten ya kami diundang untuk pentas, inipun hanya sebatas seremonial saja bukan rutinitas,” tutur Susilo salah seorang motor reog Cemandi pada PENA awal Juni lalu.
Menanting kendang
Seperti saat mereka tampil di pendopo sebelah utara Alun-alun Sidoarjo beberapa waktu yang lalu, pria bertopeng itu berdiri dengan gagah. Badannya berlenggak-lenggok mengikuti irama gendang yang ditabuh enam orang di sampingnya. Tangan kanannya mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang. Lantas kepalanya melongok ke kiri dan ke kanan. Sorot matanya menatap tajam. Ini adalah sekilas adegan yang sedang dimainkan oleh penari Barongan lanang, salah satu tokoh dalam pertunjukan reog Cemandi.
Reog Cemandi adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu mulai muncul tahun 1922. Reog Cemandi berbeda dengan Reog Ponorogo. Tidak ada warok. Topengnya pun tidak dihiasi bulu merak seperti ciri khas yang ada pada reog Ponorogo. Irama musik yang dimainkan pun cukup sederhana. Hanya memainkan angklung dan kendang kecil. Kendang dan angklung itu ditabuh mengikuti irama.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 11 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan tiga pemain angklung. “Beberapa pemain diantaranya sudah lanjut usia dan ada yang sudah meninggal dunia. Untuk regenerasi pemain ini yang menjadi masalah bagi kami,” urai Susilo selaku koordinator reog Cemandi. Banyak generasi muda yang sudah diajak Susilo ini enggan untuk berlatih reog apalagi bergabung. “Alasannya sepele, mereka malu menari-nari dihadapan orang banyak,” ujar Susilo yang mengaku kalau anak sulungnya mempunyai minat dengan reog Cemandi ini.
Yang menjadikan kesenian ini menjadi khas adalah peralatan yang digunakan saat tampil adalah peralatan asli sejak kesenian reog Cemandi ini lahir. Enam gendang, dua topeng dan tiga angklung digunakan pemainnya selama turun temurun hingga generasi kelima yang dipimpin Susilo saat ini.
Tolak Bala
Memang, Reog Cemandi hanya ada satu yakni di Desa Cemandi kecamatan Sedati Sidoarjo. “Ini sudah dipakai sejak generasi kelima. Tiap malam Jumat peralatan itu pasti dikasih uba rambe (sesajen) agar tetap awet,” lanjut pria yang akrab disapa cak Silo ini.
Barongan lanang
Barongan wadon
Saat memainkan tarian ini, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk formasi melingkar sambil mengikuti irama.
Dua penari itu berlenggak-lenggok disamping penabuh gendang. “Kalau penari Barongan menari seperti biasa, sedangkan penabuh gendangnya membuat formasi melingkar membuat gerakan seperti pencak silat,” imbuh cak Silo.
Dulunya, reog Cemandi adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Kala itu, salah seorang kyai dari Pondok Sidoresmo Surabaya, menyuruh beberapa warga Cemandi untuk mencari kayu nangka sebanyak enam batang dengan ukuran masing-masing 50 cm. Juga disuruh mencari kayu randu dengan panjang satu telapak kaki orang dewasa. “Rupanya sang kyai ini menyuruh warga untuk membuat kendang dari enam batang pohon nangka tadi lalu dari kayu randu tadi dibelah jadi dua dan digunakan untuk topeng. Topeng ini dibentuk menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah kompeni yang akan memasuki desa Cemandi,” urai cak Silo tentang sejarah reog Cemandi secara rinci.
Selain untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran itu tersirat dalam syair pangelingan (pengingat)  yang dilantunkan pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling Gusti ning tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap cak Silo menirukan syair itu.
Kini, pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi. (naskah dan foto: Yupiter Sulifan)

3 komentar:

Unknown mengatakan...

Bpk saya mahasiswi Seni Tari Universitas Negeri Malang, saya mendapat tugas dari dosen untuk mempelajari Reog Cemandi..

Minta info alamat dan contact person salah satu pengurus Reog Cemandi dong pak...
Mohon Bantuannya...

Unknown mengatakan...

Bpk saya mahasiswi Seni Tari Universitas Negeri Malang, saya mendapat tugas dari dosen untuk mempelajari Reog Cemandi..

Minta info alamat dan contact person salah satu pengurus Reog Cemandi dong pak...
Mohon Bantuannya...

Unknown mengatakan...

083831000707