Rabu, 05 November 2008

Upaya Melestarikan Hutan, Berkacalah Pada Nelayan Jepang

LOMBA TULIS YPHL Yayasan Peduli Hutan Lestari (YPHL) dan Harian Online KabarIndonesia (HOKI) 31 Oktober 2008

Upaya Melestarikan Hutan, Berkacalah Pada Nelayan Jepang

Sekilas membaca judul artikel diatas, sebagian diantara kita akan bingung bahkan berfikir kalau judul artikel diatas tidak masuk akal.
Terutama titik beratnya pada kata ’hutan’ dan ‘nelayan’, keduanya jelas dua hal yang berbeda jauh. Tapi kenapa judul diatas memakai kata kunci hutan dan nelayan? Bukankah keberadaan nelayan di kawasan pantai sedangkan hutan di daerah pegunungan? Ada hubungan apa antara keduanya?
Tanpa kita sadari, pertanyaan tersebut sering muncul dalam otak kita yang akhirnya kita menganggap kalau antara hutan dan nelayan itu sebenarnya tidak ada sangkut pautnya. Apalagi berkenaan dengan upaya melestarikan hutan.
Bila kita kupas lebih mendalam, bukankah dikawasan pantai ada hutan? Tentu bukan hutan yang dihuni oleh aneka tanaman berkayu dan keadaannya besar-besar melainkan ada hutan bakau atau mangrove.
Antara hutan bakau dan nelayan tentu keduanya ini berada dalam satu ekosistem. Tapi kalau hutan yang berada didaerah pegunungan dan nelayan di pantai apa mungkin mereka mengadakan hubungan apalagi relasi yang menguntungkan? Terlebih kalau dikaitkan dengan upaya melestarikan hutan, apa mungkin nelayan melakukan hal tersebut?
Hutan Karya Nelayan
Bagi masyarakat Jepang terutama komunitas nelayan (ryoshi), lingkungan laut (umi) tidak bisa dipisahkan dari lingkungan hutan (mori) di darat. Sekalipun kondisi lingkungan laut tidak langsung memengaruhi kondisi hutan, yang pasti kelestarian hutan dapat menciptakan kelestarian lingkungan laut dengan segala biota yang hidup di dalamnya.
Hutan yang lestari membentuk sungai dengan air yang jernih dan bermuara di laut. Air sungai dari hutan yang lestari mengandung banyak bahan mineral bergizi yang disebut myobi sebagai makanan utama plankton. Plankton adalah salah satu sumber makanan bagi biota laut seperti tiram, ikan, kerang, dan terumbu karang.
Karena makanan utama orang Jepang adalah biota laut, maka eksistensi biota dan laut amat penting dalam kehidupan orang Jepang. Maka komunitas nelayan sebagai bagian dari masyarakat Jepang berusaha melestarikan hutan agar menghasilkan air yang mengandung myobi yang mengalir melalui sungai dan bermuara di laut. Dengan demikian, biota laut dapat berkembang memenuhi kebutuhan pangan Jepang.
Dalam pandangan orang Jepang, segala bentuk kerusakan lingkungan hutan di darat, apa lagi kalau ditambah dengan pencemaran sebagai dampak dari aktivitas ekonomi manusia, pasti menimbulkan kerusakan lingkungan laut dan mengancam kehidupan biotanya. Apabila hal ini terjadi, maka yang dirugikan adalah manusia karena laut tidak lagi menyediakan makanan bergizi dan sehat.
Dalam pandangan orang Jepang, sungai dan laut adalah satu ekosistem. Orang Jepang lebih banyak menanam pohon daripada menebang kayu di hutan.
Bisnis kayu bagi mereka bukannya tidak menguntungkan, tetapi karena semua pihak memiliki komitmen yang kuat untuk melestarikan hutan, maka orientasi bisnis orang Jepang adalah ke laut. Sementara itu, nelayan Jepang berusaha membudidayakan berbagai jenis biota laut sebagai sumber daya dan energi untuk mendukung kehidupan manusia.
Jepang memiliki empat pulau besar, yakni Hokkaido, Honshu, Shikoku, Kyushu. Pantai pulau-pulau besar ini memiliki karakteristik yang unik sehingga dunia ilmiah menyebutnya rias coast, artinya pantai yang berkelok-kelok, berbukit-bukit, dan berteluk-teluk.
Di atas rias coast tumbuh berbagai jenis kayu subtropis yang tidak ditebang penduduk sehingga kawasan menjadi sangat rindang, tak ubahnya hutan lindung. Lestarinya hutan ini bukan kebetulan. Faktor kesadaran orang Jepang terhadap lingkungan memegang peranan penting.
Kondisinya memang jauh berbeda dengan lingkungan pantai di kepulauan di Indonesia. Pantai-pantai di kepulauan Indonesia umumnya landai dan berpasir putih sehingga relatif sulit ditumbuhi pohon. Tetapi pantai kepulauan Indonesia sebenarnya kaya hutan mangrove sebagai tempat berkembangnya biota laut, seperti kepiting, udang, ikan. Sayang, hutan mangrove banyak ditebang penduduk untuk berbagai kepentingan seperti pembuatan tambak, permukiman dan industri.
Kondisi pantai rias coast di Jepang yang terjaga menjadi tempat yang sangat baik bagi berkembangnya biota laut. Tetapi, salah satu rias coast yang mempunyai biota laut paling kaya justru terdapat di muara sungai (kisui-iki) atau brackish water zone. Nelayan yang tinggal di daerah muara sungai sangat beruntung karena hasil tangkapan ikan jauh lebih banyak dibanding daerah lain.
Dua puluh tahun lalu, masyarakat Jepang, termasuk komunitas nelayan, belum menyadari kaitan kelestarian hutan dengan kelestarian lingkungan laut dan biotanya. Gara-gara itu, dahulu orang Jepang menebang kayu di hutan, di rias coast, dan di Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk kepentingan industri.
Dampaknya, hasil tangkapan ikan para nelayan semakin berkurang karena biota laut semakin langka. Sejak saat itu, Jepang menjadi negara pengimpor ikan terbesar di dunia. Belajar dari pengalaman itu, komunitas nelayan menyadari bahwa pelestarian hutan sangat penting dan mereka berusaha merehabilitasi hutan di rias coast, DAS, dan gunung.
Maka mulai akhir tahun 1980-an, muncul gerakan kesadaran lingkungan yang dimulai dari komunitas nelayan, untuk menanam pohon di rias coast, DAS, dan gunung. Dewasa ini, gerakan nelayan semacam itu menyebar ke seluruh penjuru Jepang, sehingga hampir semua rias coast sudah seperti hutan lindung.
Gerakan menanam pohon di rias coast, DAS, dan gunung di Jepang untuk pertama kali muncul dari kampung (mura) Karakua, kota Kesen-Numa. Miyagi Prefectur, bagian utara pulau Honshu. Kampung ini memiliki rias coast paling ideal, karena biota laut sangat kaya dan hutan yang utuh.
Sejak dahulu kala, tiram (oyster/kaki) sudah dibudidayakan para nelayan di kampung ini. Budidaya tiram akhirnya berkembang di daerah ini, dan hampir semua penduduk membudidayakan tiram di laut.
Kebetulan ke Teluk Kesen- Numa mengalir Sungai Okawa yang hulunya di gunung Murone (Murone-Yama). Sungai ini membawa air jernih dari gunung dan mengandung banyak myobi (bahan mineral bergizi) yang sangat baik untuk makanan tiram dan biota laut lainnya.
Secara alamiah Murone-Yama ditumbuhi banyak pohon koyoju (broadleaf trees), jenis pohon yang hanya tumbuh daerah substropis Jepang. Pada musim gugur (Oktober) dan koyoju berubah warna dari hijau menjadi kuning, merah, dan akhirnya berguguran ke tanah.
Daun koyoju yang jatuh diuraikan oleh tanah dalam bentuk myobi. Bahan mineral ini kemudian bercampur dengan air dan mengalir ke Sungai Okawa yang bermuara di teluk Kesen-Numa. Setelah tiba di laut, myobi menjadi makanan utama plankton. Plankton adalah makanan utama bagi tiram, berbagai jenis ikan, terumbu karang, dan lain sebagainya.
Tahun 1970-an, keberadaan tiram sebenarnya hampir punah di daerah Kesen-Numa karena hutan di DAS dan di gunung banyak yang gundul karena kayunya ditebang penduduk setempat untuk keperluan industri. Untunglah ada ketua kelompok nelayan oyster di daerah Kesen-Numa, yakni Hatakeyama Shigeatsu yang menyadari kebodohan mereka.
Kelangkaan tiram di teluk Kesen-Numa pasti ada kaitannya dengan proses penggundulan hutan di gunung Murone. Ia menyelidiki dengan saksama tentang fenomena kelangkaan tiram dan gundulnya hutan Murone. Ia kemudian mengajak anggota kelompoknya untuk menanam pohon koyoju di Murone-Yama.
Mereka memulai menanam mulai dari garis pantai hingga kira-kira 20 kilometer ke arah gunung. Sekarang, Murone-Yama penuh ditumbuhi pohon koyoju yang merupakan kerja keras para nelayan di bawah pimpinan Htakeyama selama 20 tahun terakhir. Nelayan berhasil merehabilitasi hutan di daerah Kesen-Numa, dan pembudidayaan tiram semakin semarak.
Kegiatan penanaman pohon koyoju sampai sekarang masih tetap berlangsung dan semakin banyak volunteer yang datang ke Kesen-Numa membantu para nelayan di sana sambil belajar bagi daerah masing-masing.
Budidaya tiram oleh nelayan juga semakin menggairahkan dan membawa keberuntungan bagi para nelayan. Tiram dari daerah ini sangat terkenal di Jepang karena kebersihan, kelezatan, dan ukurannya yang sangat besar.
Karena keberhasilannya dalam melestarikan lingkungan hutan dan laut, muncul gagasan Hatakeyama untuk membuat motto baru "Mori wa Umi no Koibito". Artinya "Hutan adalah Pacar Laut".
Motto tersebut mengandung makna sangat dalam, yakni hutan adalah produsen myobi yang menjadi makanan bagi biota laut dan sungai berperan mentransportasikan myobi ke laut. Tanpa keberadaan hutan yang penuh dengan pohon koyoju, tidak akan ada kehidupan di teluk Kesan-Numa. Motto itu demikian terkenal di Jepang, sehingga semua orang tahu artinya.
Tahun 1990-an, gagasan Hatakeyama tentang kesadaran lingkungan nelayan Jepang kemudian diadopsi pemerintah terutama oleh Monbusho (Depdikbud Jepang) waktu itu, dengan memasukkan pengalaman Hatakeyama dan para nelayan yang dipimpinnya ke dalam buku pelajaran sekolah SD dan SMP mengenai pelestarian lingkungan di Jepang.
Hatakeyama sendiri menulis pengalamannya itu ke dalam buku best seller di Jepang dengan judul Ryoshi-San no Morizukuri, yang artinya "Hutan Karya Sang-Nelayan". Di dalam buku itulah motto "Mori wa Umi no Koibito" tercantum.
Sekilas tentang kepedulian seorang nelayan akan pentingnya melestarikan hutan dengan mengajak serta nelayan lain dan menyadarkan banyak orang tentang arti pentingnya menjaga kelestarian hutan.
Kepedulian dan rasa memiliki yang tinggi tentang keberadaan hutan yang lestari akan menghapus puluhan kilometer jarak dari tempat tinggal nelayan ke kawasan hutan di daerah pegunungan. Hutan bukan hanya milik dan tanggung jawab pemerintah serta masyarakat yang bermukim disekitar hutan saja, melainkan milik bersama.
Bukan karena jarak tempat tinggal kita yang jauh dari hutan, kita dengan seenaknya melakukan pengrusakan hutan. Bukan karena kita tidak memiliki kepentingan secara langsung dengan hutan maka dengan membabi buta kita porak porandakan hutan dengan berbagai cara.
Sudah selayaknya kalau kita juga turut serta melestarikan keberadaan hutan. Bukan hanya bisa mengeksploitasinya tanpa mau mereboisasi. Bersikap bijaksana ketika berada di hutan, turut serta dalam berbagai program yang berorientasi pada upaya melestarikan hutan ini adalah suatu tindakan yang cukup arif kita lakukan. Bukan hanya himbauan pada kaum nelayan seperti di Jepang tadi tetapi pada semua pihak yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian hutan.
Bukankah hutan ’titipan’ Tuhan yang dikuasakan ke manusia agar dijaga dan dirawat sebaik mungkin agar bisa dinikmati oleh manusia. Bila suatu saat Tuhan mengambil ”titipan’Nya, apa daya manusia? Sebaliknya, bila kita berniat baik menjaga sekaligus merawat ’titipan’ Tuhan ini bukankah nikmat yang akan dirasakan? Berkaca pada aksi nelayan Jepang dalam melestarikan hutan bukanlah tindakan yang merendahkan martabat. Hancurnya martabat bila hutan habis terbabat.

Tidak ada komentar: