Sabtu, 02 Juli 2011

Penggusuran, Potret Klasik Ketimpangan Pembangunan

Oleh : YUPITER SULIFAN, S.Psi
Mahasiswa Magister Psikologi Untag 45 Surabaya

Pendahuluan
Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sampai detik ini masih menuai protes yang cukup keras dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, perpres yang ditandatangani Presiden Yudhoyono tersebut mau tidak mau malah akan memproduksi segudang persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah penggusuran.
Akibat terbitnya perpres tersebut, diperkirakan program-program penggusuran atas nama pembangunan di negeri ini semakin menambah panjang daftar antrean “wajib gusur”. Jauh-jauh hari sebelumnya, di Surabaya, warga di 16 Kelurahan Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo (5000 KK/± 25000 jiwa) juga sudah terancam penggusuran dengan alasan normalisasi kali. Penggusuran diprediksi ikut pula menimpa warga yang terkena proyek jalan tol tengah kota (15000 KK/± 75000 jiwa). Selain itu, warga tiga desa di sekitar proyek jembatan Suramadu (30000 jiwa) menjadi daftar berikutnya. Terakhir, kurang lebih seratus ribu warga di sekitar proyek Jalan Lingkar Timur Surabaya, Waduk di Madura, serta jalan tol Gempol-Pandaan juga tidak luput dari sasaran penggusuran.
Itulah sebagian kecil calon-calon korban pembangunan penguasa kita. Di banyak daerah, pembangunan yang berujung pada praktek main gusur juga membayangi wong cilik yang umumnya hidup di lokasi pinggiran. Target pembangunan demi mencapai kesejahteraan umum nampaknya masih tidak berpihak pada sebagian masyarakat. Sesungguhnya hal tersebut sudah berlangsung cukup lama. Hanya saja, instabilitas kondisi perekonomian nasional, kenaikan BBM yang diikuti melambungnya harga-harga kebutuhan rumah tangga, serta “nasib apes” yang dialami warga bangsa akhir-akhir ini kiranya membuat rencana penggusuran itu semakin menyayat hati.
Perpres 36/2005 sebagai titik pangkal penggusuran ini memang bermasalah. Contoh kecil, dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat. Padahal di peraturan sebelumnya (Keppres 55/1993), definisi kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Di pasal lain, yakni pasal 19, disebutkan hanya tanah- tanah bersertifikat yang akan mendapat ganti rugi. Padahal tidak seluruh rakyat mempunyai sertifikat tanah, sedangkan mereka sudah mendiami tanah tersebut bertahun-tahun. Jumlah komunitas mereka pun sangat besar. Itu artinya, pasal inilah yang potensial menyebabkan penggusuran semena-mena. Begitu pun pasal-pasal lain yang rata-rata tidak atau kurang merepresentasikan kepentingan kaum miskin.
Penggusuran terhadap pemukiman informal (=pemukiman yang dibangun sendiri oleh rakyat) mesti disadari telah menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan di perkotaan. Ketika laju urbanisasi kian cepat dan investasi mengalir ke kota-kota, pemukiman informal tidak lagi dapat diterima karena dunia formal semakin menguasai ruang yang mereka duduki untuk pembangunan.
Menurut penelitian yang dilakukan Urban Poor Consortium (2004), akar permasalahan atas kemunculan praktek-praktek penggusuran adalah: a) adanya mega proyek (pembangunan) infrastuktur yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan internasional atau kerjasama antara pengusaha lokal dan perusahaan internasional, b) kongkalikong antara kontraktor/pengembang, birokrat, dan politisi dalam rangka menyingkirkan orang-orang miskin dari lokasi yang bernilai tinggi, c) tidak adanya hukum yang melindungi masyarakat dan menjamin hak bertempat tinggal, atau kurangnya aturan tentang prosedur penerapan hukum itu.
Akan tetapi, meski hukum yang baik itu ada, pelanggaran terhadap hukum nampaknya tetap ditolerir karena senjangnya hubungan kekuasaan yang dibangun oleh komunitas miskin dengan lobi-lobi politik yang dibangun oleh tiga sekawan: pengembang-birokrat-politikus.
Di mata pemerintah, praktek penggusuran bukannya tanpa jalan keluar. Resettlement (pemukiman kembali) adalah salah satu alternatif yang ditawarkan pemerintah terhadap para korban penggusuran. Perpres 36 sendiri menyebutkan ganti rugi yang didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, besaran ganti rugi NJOP tetap dinilai sebagian masyarakat tidak adil karena pemerintah tidak memperhitungkan kerugian immateril yang diderita rakyat yang terkena dampak pembangunan. Resettlement juga dipandang tidak bisa mengembalikan modal sosial yang selama ini melekat di tengah-tengah masyarakat, di samping resettlement juga kurang representatif dibandingkan tempat tinggal asal.

Libas Pedagang Kaki Lima
Selain tempat tinggal, temapt mencari nafkah juga tak luput dari penggusuran. Penggusuran Pedagang Kaki Lima (PKL) hampir terjadi di seluruh Indonesia. Penggusuran-penggusuran tersebut seringkali berakhir ricuh antara PKL dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Hal ini sungguh ironis. Ketika pemerintah kota berusaha menata keindahan kota untuk kenyamanan warganya, di sisi lain keberadaan sektor informal seperti PKL juga memiliki peran penting untuk perekonomian. Isu penggusuran PKL menjadi dilema etika yang sulit untuk diatasi. Oleh karena itu, perlu ada pemahaman terlebih dulu mengenai penggusuran PKL.
Dalam teori utilitiarisme, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang saja melainkan masyarakat secara keseluruhan. Penggusuran PKL yang berakhir dengan kekerasan dan kericuhan bukan merupakan utilitiarisme. Penggusuran PKL akan menjadi utilitiarisme ketika tidak ada kekerasan dalam prosesnya dan para PKL juga mendapatkan manfaat dari adanya penggusuran tersebut dengan memindahkannya ke lokasi yang menguntungkan untuk mereka. Contoh penggusuran PKL dengan teori utilitarisme adalah penggusuran pedagangan Keputran ke daerah Osowilangun, Surabaya dan penataan PKL di Solo.
Dalam teori deontologi, yang menjadi dasar baik buruknya perbuatan adalah kewajiban. Penggusuran PKL merupakan salah satu upaya menata tata ruang wilayah kota sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Oleh karena itu, ada aturan-aturan yang mengikat tentang tata ruang, seperti UU Tata Ruang dan perda-perda yang berlaku di setiap daerah. Inilah yang seringkali memicu terjadinya kekerasan dan kericuhan dalam penggusuran PKL yang berdasarkan suatu kewajiban terkait aturan-aturan tertentu.
Dalam teori hak, hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Penggusuran PKL di trotoar-trotoar dalam satu sisi merupakan upaya untuk memperoleh hak pejalan kaki untuk dapat berjalan di trotoar dengan nyaman. Namun, di sisi lain para PKL juga memiliki hak untuk berjualan demi memperoleh keuntungan. Dengan demikian, dalam teori hak ini setiap pihak selalu harus dihormati sebagai suatu tujuan sendiri dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai sasaran demi tercapainya tujuan lain.
Dalam teori keutamaan, adalah teori yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Keutamaan bisa didefinisikan disposisi watak yang diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Teori keutamaan memungkinkan untuk mengembangkan penilaian etis yang lebih positif. Penggusuran PKL akan menjadi suatu upaya yang positif ketika aspek etis dan moral lebih dikedepankan. Hal ini terjadi ketika upaya penggusuran PKL di Solo yang tertib dan aman karena pemerintah setempat mengedepankan aspek nilai budaya dan norma-norma yang tumbuh di Solo.
Analisis sederhana dari aksi penggusuran PKL di berbagai tempat di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Citra Buruk Sektor Informal.
Kriteria utama sektor informal adalah mudah masuk kedalam aktivitas tersebut, usaha milik keluarga, beroperasi dalam skala kecil, intensif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan teknologi sederhana, sehingga sektor ini menjadi pilihan pekerjaan yang cukup rasional bagi masyarakat perkotaan.
Sektor informal dianggap sebagai manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di wilayah perkotaan. Mereka yang memasuki kegiatan usaha berskala kecil di kota, bertujuan mencari kesempatan kerja dan pendapatan daripada memperoleh keuntungan. Nampaknya sektor informal merupakan pilihan yang paling rasional dan mudah dimasuki bagi kaum marginal, untuk bertahan hidup di kota (economical survive strategy) yang bukan hanya sekedar kompetitif, tetapi membutuhkan tingkat pendidikan dan keterampilan tertentu.
Sektor ekonomi informal diperkotaan merupakan klaster masyarakat yang cukup rentan terkena imbas dari berbagai kebijakan. Pada umumnya sektor ini merupakan ruang terbuka bagi kelompok marjinal kota untuk mempertahankan dan melanjutkan kehidupan dalam batas subsistensi. Mereka adalah pedagang kaki lima, pedagang asongan, buruh dan lain sebagainya.
Keberadaan pedagang kaki lima sebagai pelaku kegiatan ekonomi marginal (marginal economic activities), biasanya memberikan kesan yang kurang baik terhadap kondisi fisik kota. Misalnya kesemrawutan, jalanan macet, kumuh dan lain sebagainya. Kondisi ini menjadi alasan utama bagi pemerintah untuk melakukan penggusuran ruang publik kaum marginal. Pada akhirnya akan mematikan sektor perekonomian, sosial, politik dan budaya mereka. Kaum marginal mereka menjadi kelompok yang dimarjinalkan teralienasi, dari kahidupan dan inilah gambaran dari kebijakan yang tidak memihak pada masyarakat sipil. Menurut Justin negara merupakan pelaku kekerasan secara sitemik, masyarakat marginal adalah korbannya.
2. Membangun dan Menggusur (Realitas Pembangunan)
Kota mengalami perkembangan sangat cepat di tengah arus globalisasi dewasa ini. Tingginya arus urbanisasi sebagai salah satu masalah bagi kota. Munculnya pemukiman-pemukiman kumuh (slum area), pedagang kaki lima, meningkatnya tindak kejahatan dan lain sebagainya, menjadi permasalahan pelik dan tak terpecahkan. Kejadian seperti ini dialami oleh mayoritas Negara berkembang.
Pembangunan fisik biasanya menjadi prioritas utama dalam berbagai program pembangunan yang dilakukan. Sehingga berimplikasi pada tidak humanisnya suatu program pembangunan. Membangun dan menggusur menjadi dua hal yang tak terpisahkan dalam perkembangan kota dewasa ini.
Pembangunan melalui penggusuran merupakan sebuah kebijakan yang tidak memperhatikan kaum marginal sebagai warga Negara yang berhak dilindungi. Sepertinya pembangunan dalam perspektif konvensional masih mendominasi berbagai kebijakan yang menyangkut kaum marginal saat ini. Walaupun pembangunan tipe itu sudah tidak relevan diterapkan dewasa ini.
Ada tiga indikator yang seharusnya menjadi perhatian dalam setiap kebijakan pembangunan yaitu :
1. Economic growth (Meningkatkan pertumbuhan ekonomi)
2. Social equity (Pembangunan yang berkeadilan)
3. Environmental protection (pembangunan yang ramah lingkungan)
Ketiga indikator dari pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu kesatuan tujuan yang harus diperhatikan oleh pengambil kebijakan.
3. Dampak Relokasi “Tolak Ukur Pembangunan Berkelanjutan (Sustinaible Development)”
Tentunya kebijakan tersebut memiliki efek atau dampak bagi pedagang kaki lima itu sendiri dan juga bagi lingkungan. Dua kriteria yang digunakan yaitu internal dan eksternal. Internal yaitu bagaimana dampak terhadap PKL dalam hal peningkatan ekonomi, rasa keadilan dan eksternal yaitu bagaimana keterkaitannya dengan lingkungan.
Dampak yang muncul pasca relokasi yaitu terbagi menjadi tiga sub dampak yaitu ; pertama dampak sosial ekonomi, kedua sosial budaya dan ketiga dampak terhadap lingkungan. Tiga sub dampak tersebut dilihat dari kacamata positif dan negatif sehingga akan lebih berimbang memberikan penilaian.
Adapun dampak sosial ekonomi dan sosial budaya yang bersifat positif yaitu meningkatnya kelayakan dan kenyamanan usaha, terbukanya kesempatan kerja, perubahan status PKL menjadi pedagang legal, menurunnya budaya premanisme (keamanan pasar stabil). Dampak negatif yaitu menurunnya modal dan pendapatan, meningkatnya biaya operasional, menurunnya aktivitas pasar (produksi, distribusi dan konsumsi), melemahnya jaringan sosial (pelanggan), dan menurunnya kesempatan pedagang untuk ikut dalam kelompok kelompok sosial non formal. Dampak terhadap lingkungan memberikan implikasi yang positif yaitu tertatanya lingkungan dengan baik, dengan pengolahan limbah pasar, penghijauan sekitar pasar reloksi, sehingga lingkungan pasar menjadi asri dan tidak terlihat kesan kumuh (ramah lingkungan).
Kebijakan tersebut tidak dapat digolong sebagai kebijakan pembangunan berkelanjutan, karena dari tiga syarat hanya satu syarat yang terpenuhi yaitu ramah lingkungan (environmental protection) atau tidak terjadinya degradasi lingkungan. Sebaliknya peningkatan ekonomi (economic growth) dan keadilan (social equity) tidak terpenuhi.
4. Rekomendasi “Membangun Tanpa Menggusur”
Pembangunan tanpa menggusur hanyalah sebuah wacana dan pemanis janji kampanye para politikus. Nyatanya kebijakan terhadap sektor informal perkotaan, selalu dikaitan dengan penggusuran. Negara adalah musuh yang paling ditakuti oleh para pedagang kaki lima. Razia-razia dan perampasan barang dagangan menjadi fenomena yang selalu hadir di daerah perkotaan. Inilah warna dari ketidakadilan, penindasan dan kesewenang-wenangan terhadap pelaku sektor informal menjadi hal yang wajar karena mereka juga sudah di labelkan sebagai pembangkang dan perusak keindahan kota.
Kembali kebahasan awal, berdasarkan jenis-jenis dampak yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu. Ada beberapa rekomendasi sebagai masukan untuk mengarahkan pada terbentuknya pembangunan yang berkelanjutan, yaitu :
1. Pembetukan tim pemantauan perkembangan pasar :
a) Tim sebagai mediator antara pemerintah (Pengambil Kebijakan) dengan kelompok yang terkena kebijakan (PKL). Menampung aspirasi pedagang serta menyalurkannya.
b) Tim sebagai wadah yang secara tidak langsung menjembatani antara pengambil kebijakan dengan objek kebijakan. Sehingga kedepan melahirkan kebijkan yang responsif, aquitable, yang intinya memihak pada masyarakat
2. Aksi responsif :
Pertama pendampingan dan pemberdayaan terhadap pedagang khususnya pedagang kecil. Kedua batuan modal dan subsidi tempat berjualan atau lapak bagi pedagang kecil. Ketiga memberikan kebebasan kepada pedagang untuk membentuk perkumpulan pedagang, sehingga control dari bawah akan tetap berjalan. Keempat Pelatihan kepada pedagang mengenai manajemen kewirausahaan, dan lain sebagainya.
Adanya penggusuran PKL di Indonesia bisa saja menjadi dilema etika yang sulit untuk diselesaikan. Oleh karena itu, perlu adanya pertimbangan-pertimbangan pemerintah yang didasarkan pada teori-teori etika yang ada. Yang paling penting adalah dengan adanya penggusuran PKL tersebut, hak-hak setiap orang yang terlibat di dalamnya tidak terenggut dan mengutamakan nilai etis yang dimiliki bangsa Indonesia sehingga tidak menimbulkan kekerasan yang tidak diinginkan.
Penutup
Dalam kondisi yang serba terjepit, akankah bangsa ini hanya bisa pasrah melihat penggusuran keluarga miskin, meningkatnya jumlah gelandangan, pengangguran, dan kaum miskin? Bagaimana pun juga, hal tersebut mengindikasikan betapa pembangunan era sekarang masih kesulitan mencari jalan keluar atas munculnya banyak ketimpangan terjadi.
Pemerintah melalui perpres dan segudang kebijakan serta aturan yang ditelurkannya harus melihat bahwa ternyata kepentingan umum tidak lagi menjadi prioritas utama. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang kurang mendapat respon masyarakat akibat penetapan yang tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Karena itu, kepentingan publik tersebut hanya dapat dipahami bila semua warga secara individual (tanpa syarat, dan demi mewujudkan haknya) memperoleh kesempatan yang sama untuk secara bebas mengutarakan aspirasinya dalam kehidupan berdemokrasi.

Tidak ada komentar: