Senin, 10 Januari 2011

Opini:Refleksi Hari Pers Nasional, 9 Februari 2011: Urun Rembug Keberadaan Pers Sekolah


Oleh: Yupiter Sulifan, Pembimbing Jurnalistik SMAN 1 Taman

Istilah pers sekolah memang belum sepopuler istilah pers kampus. Kepopuleran pers kampus karena terkenal ‘garang’. Seperti yang sering kita nikmati lewat media massa, kegarangan pers kampus ini hingga bisa menurunkan seseorang dari jabatan dekan disebuah universitas.
Dengan cerdas dan lugas, insan pers kampus menyajikan banyak fakta dan bukti tentang penyelewengan yang dilakukan oknum dekan ini hingga akhirnya pihak rektorat mencopotnya dari jabatan dekan.
Apakah pers sekolah juga harus se-garang ini bila ingin populer? Buru-buru isinya dicap garang,, untuk terbit saja dananya tak ada, kalaupun ada dana, materi isinya ‘datar-datar’ saja. Memang itulah sekelumit dari banyak hal yang menyebabkan pers sekolah tidak sepopuler pers kampus. Pembimbing yang kurang kompeten di bidang jurnalistik hingga ‘pesan-pesan sponsor’ dari sekolah banyak yang mendominasi tampilan pers sekolah. Pers sekolah yang berwujud mading kelas, mading sekolah, majalah, bulletin, tabloid hingga radio FM sekolah seringkali memendam banyak masalah.
Potensi masalah yang menggantung dan tak terselesaikan inilah yang menyebabkan pers sekolah seolah menjadi ‘pelengkap penderita’ dalam satu komunitas sekolah. Apalagi menjelang akreditasi sekolah ataupun penilaian lainnya, pers sekolah ini pasti menjadi sasaran tembak dadakan. Akibatnya wajah pers sekolah hanya ‘syukur terbit’.

Dikebiri
Menilik salah satu fungsi pers adalah sebagai alat untuk control social, pers sekolah masih jauh api dari panggang. Artinya, control social yang kerap dilakukan insan pers sekolah malah dilarang oleh pihak sekolah (baca: guru). Tatkala pers sekolah menyoroti tentang keadaan kamar mandi/wc murid yang kotor dan tak terawat, bukan rasa terima kasih atas kritikan atau koreksi dari pihak guru yang diterima malah dampratan bahkan ancaman untuk tidak naik kelas ataupun dikeluarkan dari sekolah yang mereka dapatkan.
Kalau kita mau berfikir secara jernih, pihak sekolah justru malah berterima kasih karena sudah diingatkan akan kekurangan yang ada. Bukankah pers sekolah dalam menulis suatu fenomena masalah di sekolah selalu dibarengi dengan solusinya? Bukankah ini sudah merupakan berita yang berimbang dan layak untuk dipublikasikan?
Pembatasan isi mengakibatkan pers sekolah tak ubahnya sebagai corong bagi sekolah tersebut. Walaupun sebenarnya ini salah satu fungsi dari pers sekolah yang merupakan media komunitas. Alangkah hambarnya bila dalam sebuah majalah sekolah isinya hanya didominasi berita tentang prestasi serta pembangunan sekolah. Akibatnya, majalah sekolah tak ubahnya seperti brosur yang berlembar-lembar jumlah halamannya!

Asal Comot
Seringkali kita temui pers sekolah yang dibimbing oleh orang yang tidak kompeten, orang yang tidak tahu seluk beluk jurnalistik. Terkadang dari guru mata pelajaran tertentu yang dijadikan pembimbing jurnalistik. Dengan dalih untuk memenuhi jam mengajar 24 jam akhirnya guru yang jam mengajarnya sedikit diberi tugas menjadi pembimbing jurnalistik. Ibarat sebuah kapal yang berlayar di tengah samudra yang dikemudikan bukan oleh nahkoda melainkan kusir! Sungguh hal ini akan menyesatkan lagi mencelakakan orang lain.
Tak beda dengan pembimbing pers sekolah yang diserahkan bukan pada orang semestinya, isinya akan ‘tak berdaya’ dan terkesan ‘wis pokoke terbit!’. Apalagi moment-moment menjelang tahun ajaran baru atau membagikan raport. Yang nota bene kedua moment ini merupakan ajang unjuk gigi sekolah yang bersangkutan dihadapan wali murid ataupun masyarakat luas.

Suntikan Dana
Jangankan pers sekolah yang membutuhkan dana relatif sedikit, perusahaan pers besar juga pontang panting bila kucuran dana dari sang pemodal macet. Kembali ke pers sekolah, soal pengadaan dana untuk menerbitkan majalah sekolah misalnya, ada banyak sekolah yang menerapkan penarikan dana ini dijadikan satu dengan biaya daftar ulang bagi siswa baru dan siswa yang naik kelas.
Hal ini sangat membantu kelancaran terbitnya majalah sekolah karena siswa tidak diribetkan dengan penggalian dana untuk proses produksi majalah melainkan siswa bisa konsentrasi pada isi serta penampilan majalah semenarik mungkin. Mengingat, ada sekolah yang enggan menarik dana majalah sekolah diawal (daftar ulang) dengan dalih administrasinya kacaulah, ribet pengalokasiannya-lah. Sehingga bila akan terbit, maka insan pers sekolah (dalam hal ini siswa) yang harus menggali dana sendiri sekaligus menerbitkannya. Dampaknya, majalah yang dihasilkan jauh dari selayaknya majalah sekolah!
Ada solusi untuk sekolah model begini, soal penggalian dana bisa dilakukan setiap hari dan dilakukan di tiap-tiap kelas di jam pelajaran pertama. Jimpitan sukarela siswa, nama solusinya. Konkretnya, beri satu kaleng untuk tiap-tiap kelas dan mereka bisa menyumbang/menyisihkan sedikit (namanya saja jimpitan tentu tidak besar) dari uang sakunya untuk program jimpitan sularela ini. Berapapun besar uang yang diberikan siswa, sekolah tidak menentukan. Setiap hari, misalnya saat pulang sekolah ada pengumuman yang diletakkan di tempat strategis tentang jumlah uang yang terkumpul dari masing-masing kelas pada hari itu. Jadi akuntanbilitasnya jelas!
Dan seminggu sekali ada laporan tentang aliran dana jimpitan ini. Entah untuk kegiatan keagamaan, class meeting, dan tentunya bisa digunakan untuk membiayai terbitnya majalah sekolah secara rutin. Dari siswa, oleh siswa dan untuk siswa. Tentunya semua ini sudah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan dari pihak komite sekolah.
Bagaimanapun keberadaan pers sekolah menguntungkan banyak pihak. Bagi sekolah, bisa memanfaatkannya sebagai media untuk promosi tentang prestasi dan bukti pada masyarakat tentang keunggulannya.
Bagi siswa merupakan wahana untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya sekaligus media pembelajaran di bidang jurnalistik. Bagi guru juga demikian, pers sekolah bisa menjadi sarana untuk menuangkan ide dan gagasan karya tulisnya.
Dengan kata lain, keberadaan pers sekolah membawa manfaat bukan hanya bagi siswa, guru melainkan juga kepada sskolah secara umum. Lantas, masihkah kita mempersulit lagi menghambat berkembangnya pers sekolah di lingkungan sekolah kita?

Tidak ada komentar: