Reog Cemandi, Fatwa Kyai untuk Usir Kompeni
Cak Susilo, ketua reog Cemandi |
Mendengar
nama reog, ingatan kita tertuju pada kesenian khas Ponorogo. Wajar saja karena
kesenian reog sudah identik dengan Ponorogo. Tapi nama reog yang satu ini jauh
dari kota Ponorogo, reog Cemandi namanya.
Sesuai
dengan namanya, kesenian reog ini berasal dari desa Cemandi kecamatan Sedati.
Sebagai salah satu kesenian khas Sidoarjo, reog Cemandi memang belum setenar
reog Ponorogo. Bahkan banyak warga asli Sidoarjo sendiri yang belum tahu kalau
ada kesenian reog khas daerah pesisir ini.
![]() |
Personil Reog Cemandi |
“Bisa
dimaklumi, kesenian reog Cemandi ini seolah hanya milik warga Cemandi atau
Sedati saja padahal banyak warga luar daerah yang mengaguminya dan selama ini
yang mau nanggap reog Cemandi ya
warga Sedati sendiri. Kalaupun ada acara kesenian di kabupaten ya kami diundang
untuk pentas, inipun hanya sebatas seremonial saja bukan rutinitas,” tutur
Susilo salah seorang motor reog Cemandi pada PENA awal Juni lalu.
Menanting kendang |
Seperti
saat mereka tampil di pendopo sebelah utara Alun-alun Sidoarjo beberapa waktu
yang lalu, pria bertopeng itu berdiri dengan gagah. Badannya berlenggak-lenggok
mengikuti irama gendang yang ditabuh enam orang di sampingnya. Tangan kanannya
mengayunkan golok seakan menebas lawan yang datang. Lantas kepalanya melongok
ke kiri dan ke kanan. Sorot matanya menatap tajam. Ini adalah sekilas adegan
yang sedang dimainkan oleh penari Barongan lanang, salah satu tokoh dalam
pertunjukan reog Cemandi.
Reog
Cemandi adalah kesenian asli Sidoarjo. Kesenian itu mulai muncul tahun 1922.
Reog Cemandi berbeda dengan Reog Ponorogo. Tidak ada warok. Topengnya pun tidak
dihiasi bulu merak seperti ciri khas yang ada pada reog Ponorogo. Irama musik
yang dimainkan pun cukup sederhana. Hanya memainkan angklung dan kendang kecil.
Kendang dan angklung itu ditabuh mengikuti irama.
Jumlah
pemain Reog Cemandi sekitar 11 orang. Dua penari yang memakai topeng Barongan
Lanang (laki-laki) dan Barongan Wadon (perempuan), enam penabuh gendang dan tiga
pemain angklung. “Beberapa pemain diantaranya sudah lanjut usia dan ada yang
sudah meninggal dunia. Untuk regenerasi pemain ini yang menjadi masalah bagi
kami,” urai Susilo selaku koordinator reog Cemandi. Banyak generasi muda yang
sudah diajak Susilo ini enggan untuk berlatih reog apalagi bergabung. “Alasannya
sepele, mereka malu menari-nari dihadapan orang banyak,” ujar Susilo yang
mengaku kalau anak sulungnya mempunyai minat dengan reog Cemandi ini.
Yang
menjadikan kesenian ini menjadi khas adalah peralatan yang digunakan saat
tampil adalah peralatan asli sejak kesenian reog Cemandi ini lahir. Enam
gendang, dua topeng dan tiga angklung digunakan pemainnya selama turun temurun
hingga generasi kelima yang dipimpin Susilo saat ini.
Tolak Bala
Memang,
Reog Cemandi hanya ada satu yakni di Desa Cemandi kecamatan Sedati Sidoarjo.
“Ini sudah dipakai sejak generasi kelima. Tiap malam Jumat peralatan itu pasti
dikasih uba rambe (sesajen) agar tetap awet,” lanjut pria yang
akrab disapa cak Silo ini.
Barongan lanang |
Barongan wadon |
Saat
memainkan tarian ini, dua penari Barongan Lanang dan Barongan Wadon mengiringi
penabuh gendang yang ada di tengahnya. Enam penabuh gendang itu membentuk
formasi melingkar sambil mengikuti irama.
Dua
penari itu berlenggak-lenggok disamping penabuh gendang. “Kalau penari Barongan
menari seperti biasa, sedangkan penabuh gendangnya membuat formasi melingkar
membuat gerakan seperti pencak silat,” imbuh cak Silo.
Dulunya,
reog Cemandi adalah pertunjukan yang dipakai masyarakat desa Cemandi, kecamatan
Sedati untuk mengusir penjajah Belanda. Kala itu, salah seorang kyai dari Pondok
Sidoresmo Surabaya, menyuruh beberapa warga Cemandi untuk mencari kayu nangka
sebanyak enam batang dengan ukuran masing-masing 50 cm. Juga disuruh mencari
kayu randu dengan panjang satu telapak kaki orang dewasa. “Rupanya sang kyai
ini menyuruh warga untuk membuat kendang dari enam batang pohon nangka tadi
lalu dari kayu randu tadi dibelah jadi dua dan digunakan untuk topeng. Topeng ini
dibentuk menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring. Setelah itu, masyarakat
setempat melakukan tari-tarian untuk mengusir penjajah kompeni yang akan
memasuki desa Cemandi,” urai cak Silo tentang sejarah reog Cemandi secara
rinci.
Selain
untuk mengusir penjajah pada waktu itu, tarian tersebut juga sebagai himbuan
kepada masyarakat sekitar untuk selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa. Anjuran
itu tersirat dalam syair pangelingan (pengingat) yang dilantunkan
pemainnya sebelum memulai pertunjukan. “Lakune wong urip eling Gusti ning
tansah ibadah ing tengah ratri,” ucap cak Silo menirukan syair itu.
Kini,
pertunjukan reog Cemandi itu sudah berubah fungsi. Masyarakat sekitar biasa
mengundang kesenian Reog Cemandi itu untuk hajatan mantenan, sunatan atau acara
lainnya. Selain itu, masyarakat sekitar percaya, bahwa tarian reog Cemandi bisa
untuk menolak balak (membuang sial). “Kalau arak-arakan pasti kami yang di
depan. Karena untuk menolak balak,” tegasnya lagi. (naskah dan foto: Yupiter Sulifan)
3 komentar:
Bpk saya mahasiswi Seni Tari Universitas Negeri Malang, saya mendapat tugas dari dosen untuk mempelajari Reog Cemandi..
Minta info alamat dan contact person salah satu pengurus Reog Cemandi dong pak...
Mohon Bantuannya...
Bpk saya mahasiswi Seni Tari Universitas Negeri Malang, saya mendapat tugas dari dosen untuk mempelajari Reog Cemandi..
Minta info alamat dan contact person salah satu pengurus Reog Cemandi dong pak...
Mohon Bantuannya...
083831000707
Posting Komentar