Banyak Keunikan, Jauh dari Penelitian
![]() |
2007 |
Juni 2012 |
Untuk
menemukan kawasan candi yang satu ini memang gampang-gampang susah. Walau tanya
kepada penduduk setempat ternyata tidak semua mengetahui situs candi Tawang
Alun ini. Mereka selalu menunjuk kearah desa Tawang Alun bila ada yang
menanyakan letak candi Tawang Alun. Padahal letak desa Tawang Alun dengan candi
Tawang Alun ini cukup jauh sekitar 3 Km dari arah desa Tawang Alun kea rah
timur. Tepatnya candi Tawang Alun berada di desa Buncitan dan posisinya persis
dibelakang kompleks Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) Buncitan kecamatan Sedati.
Jalan
menuju petilasan candi Tawang Alun tidak bisa dibilang mulus. Ketika dari jalan
raya Sedati-Kalanganyar masuk sudah disambut dengan tatanan paving yang sudah
banyak yang aus tergerus air dan cuaca. Jalan paving inipun tidak terlalu
panjang kurang lebih 500 meter lalu kita melewati jalan makadam bertanah liat
campur batu kapur. Dibelakang rumah warga inilah ada sebuah gunung kecil (gundukan
tanah liat berkapur) yang ditengah-tengahnya berdiri sebuah bangunan dengan
tumpukan bata merah tersusun agak rapi.
Untuk
memastikan bahwa itu merupakan sebuah bangunan candi kita mesti bertanya kepada
warga yang mukim disekitar lokasi ini. Atau bertanya pada seorang penjaga/juru
rawat candi yang setiap saat selalu hadir di sekitar candi ini. Maklum saja, karena papan penunjuk
ataupun papan yang bertuliskan CANDI TAWANGALUN dengan huruf kapital itu kini
sudah tidak ada lagi.
Menyiangi rerumputan didinding candi |
“Saat
ada hujan yang disertai angin kencang, papan nama dan penunjuk tempat candi
berada diterbangkan angin dan hingga kini belum terpasang penggantinya. Jadi
tidak salah kalau banyak pengunjung yang ingin melihat candi Tawang Alun untuk
pertama kalinya merasa kesulitan,” ujar Ahmad Syaiful Munir, juru rawat candi
Tawang Alun kepada PENA akhir Juni lalu.
Kalaupun
ada pengunjung yang sudah terlanjur masuk desa Tawang Alun maka akan menemukan
banyak hamparan tambak yang sebetulnya di dalam tambak itu ada banyak tatanan
batu petilasan. “Ya, di kawasan tambak sana, ketika petani tambak ini mengeruk
lumpur tambaknya maka mereka banyak menemukan tatanan batu petilasan kuno. Batu
bata merah yang besarnya dua kali dari bata merah sekarang, ini seringkali
dijadikan jalan darurat diantara tambak. Sebenarnya sangat disayangkan tapi itu
khan tambak mereka dan mereka butuh makan jadi keberadaan bata kuno tadi ya
diabaikan begitu saja,” lanjut Syaiful yang asli Buncitan.
Untuk
bisa mencapai lokasi candi Tawang Alun ini, pengunjung akan disambut oleh bau
belerang yang cukup menyengat hidung. Apa pasal? Tanah lokasi candi Tawang Alun
berada diatas gunung kecil walau begitu di gunung ini juga mengeluarkan lumpur
panas, air panas dan uap air panasnya mirip lava gunung berapi. Dari asap yang
keluar ini memunculkan bau belerang.
Flora Fauna
Endemik
Umbi beluntas |
“Air
lelehan lava ini bila terkena tanaman akan mati untuk itulah saya mencoba
memisahkannya. Air yang berwarna keruh ini saya pinggirkan dan air yang bening
inilah yang saya tampung dan setelah dingin saya gunakan untuk menyiram tanaman
dan bunga di sekitar candi,” urai Syaiful sambil membuatkan jalan bagi lelehan
lava yang keluar dari tanah disekitar candi Tawang Alun.
Puncak
dari gunung ini tingginya sekitar 10 meter tanahnya berupa sertu, tanah liat kuning
bercampur batu kapur. Dari gundukan tanah ini muncul puluhan semburan lumpur
dan air panas dengan diameter lubang antara dua sentimeter hingga empat
sentimeter. Lubang ini menyebar hampir diseluruh penjuru gunung. “Saya mencoba
menutup lubang lava ini yang berada didekat candi karena saya takut candi akan
tergerus rusak oleh panasnya uap yang muncul, caranya ya dengan membuatkan
aliran airnya biar menjauh dari candi. Karena kalau ditutup bukan malah
berhenti malah akan muncul lubang lava baru dan makin mendekati candi ini,”
ujar bapak tiga anak ini.
Usaha
untuk menampung lelehan air panas ini Syaiful lakukan dengan menggali lubang
berdiameter 1 meter dengan kedalaman 1 meter yang letaknya ada didepan pintu
masuk di kawasan candi Tawang Alun ini. Alhasil, tanaman bunga bougenvile,
euphorbia, klampis, sansiviera, serta beberapa pohon adenium sebagai pagar
lokasi candi bisa hidup walau keadaannya tidak bisa dibilang segar.
Tanaman
semak yang bisa hidup dikawasan panas ini adalah pohon beluntas. “Dan ada satu
keanehan yakni disetiap akar beluntas pasti ada umbinya mirip bengkoang. Sepertinya
ini cadangan air beluntas ketika masuk musim kemarau,” kata Syaiful sambil
menunjukkan umbi beluntas sebesar kepalan tangan anak kecil.
Lelehan lava yang dialirkan menjauh dari candi |
Hewan
yang ada dikawasan ini dan biasa bertengger dan membuat sarang di pohon klampis
adalah burung tekukur, perkutut, cendet, kutilang dan glatik Jawa. Khusus untuk
burung Glatik Jawa ini yang sudah masuk hewan langka dan dilarang diburu/dipelihara,
dikawasan candi Tawang Alun ini masih banyak ditemukan hidup berkelompok yang
rata-rata jumlahnya 10 ekor/kelompok.
Warisan
Majapahit
Keunikan
yang ada di candi Tawang Alun ini bukan hanya pada flora fauna endemiknya
melainkan juga keadaan bangunan candi itu sendiri menyimpan banyak misteri. Bentuk
bangunan candi yang hampir mirip bangunan candi-candi yang ada di Sidoarjo dan
Trowulan Mojokerto ini diperkirakan warisan jaman kerajaan Majapahit. “Hanya
saja bentuk bangunannya yang sedikit aneh yakni ini mirip pondasi sebuah candi
tetapi ada lubang ditengah bagian atas candi yang disebut sumur windu. Sumur
windu ini bila kemasukan air seberapa banyak airnya tidak akan tumpah dan
langsung habis padahal dasarnya sumur yang sedalam 2 meter ini tertutup bata
merah,” urai Syaiful sambil menjelaskan kalau lebar dan panjang candi Tawang
Alun 4 meter dan tingginya sekitar 2 meter.
Sejak
tahun 2003 Syaiful sudah dipercaya menjadi juru rawat candi Tawang Alun. Dan sejak
tahhun 2007, Syaiful mulai mengadakan pembenahan-pembenahan pada bagian fisik
candi. “Banyak bagian-bagian candi yang lubang serta batanya banyak yang
diambil warga sekitar. Ini menyebabkan candi sudah tidak ada bentuknya kalau
dilihat sekilas seperti onggokan bata merah yang tiada arti. Melihat kondisi
yang mengenaskan ini, saya berusaha merekontruksi bentuk candi Tawang Alun
seperti saat saya kecil dulu bentuknya,” tutur Syaiful sambil menjelaskan kalau
batu yang dipakai untuk menambal bagian yang lubang tadi merupakan kumpulana
dari bata merah, bata putih ataupun bata kali yang sejaman dengan umur candi
ini. Syaiful mendapatkan bata-bata tadi dari pencariannya ke berbagai penjuru
desa Buncitan dan Tawang Alun. Sehingga bentuk candi Tawang Alun bisa kita
nikmati seperti sekarang ini.
Sama
dengan candi-candi lain di Sidoarjo, Candi Tawang Alun pun merupakan warisan
Majapahit. Model batu bata merah, konstruksi bangunan, lokasi, semuanya khas
Majapahit. Entah mengutip dari sumber mana, Syaiful Munir menyebutkan, Candi
Tawang Alun didirikan pada 1292 pada masa Raja Brawijaya II (Resi Tawangalun).
Sang raja punya selir bernama Putri Alun.
Masih menurut Syaiful, Candi Tawang Alun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Syaiful juga meyakinkan, Candi Tawang Alun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh.
Masih menurut Syaiful, Candi Tawang Alun ini sengaja dibangun sebagai persembahan dan tanda cinta kasih kepada sang selir. Syaiful juga meyakinkan, Candi Tawang Alun ini dibangun dengan penuh pengabdian dan cinta warga atas perintah Raja. Bahan bangunan dicari yang terbaik, penggarapannya pun sungguh-sungguh.
Meski
dipersembahkan untuk Putri Alun, tutur Syaiful, Candi Tawang Alun sejak dulu
dianggap sebagai monumen milik warga asli Buncitan. Mereka percaya bahwa
cikal-bakal dusun di tengah tambak itu tak lain didirikan oleh Putri Alun.
Karena itu, setiap 1 Syuro warga ramai-ramai melakukan tasyakuran di kompleks
Candi Tawang Alun.
Meskipun
tersusun dari bata merah tapi tak satupun bata merah ini mengalami kerusakan,
bahkan tim purbakala dari Trowulan juga heran dengan keadaan candi Tawang Alun.
“Mereka tidak percaya kalau bata merah yang menyusun candi ini masih kuat
padahal tempatnya ada dipantai dan berair asin yang seharusnya bata merahnya
lebih mudah lapuk,” jelas Syaiful.
Bersahabat Alam
Hasil karya pengunjung yang memanfaatkan barang bekas |
PENA
sempat mencermati daftar tamu yang tertulis di buku tamu yang khusus disediakan
Syaiful. Terbanyak dari kalangan siswa SD yang datang secara beramai-ramai, beberapa
mahasiswa dan beberapa keluarga. “Sepertinya Anda ini orang Diknas pertama yang
datang kemari,” seloroh Syaiful kepada PENA.
Syaiful
mengaku sangat senang bila kedatangan tamu dari kalangan siswa terutama siswa SD.
“Mereka masih polos dan sudah seharusnya diberi pengetahuan tentang sejarah
nenek moyangnya dengan benar. Bukan pada sisi mistisnya melainkan sisi sejarah
dan pengetahuannya. Bahkan kalau ada yang kesini, anak-anak SD ini saya ajak
bermain sambil mengenal alam disini,” kata Syaiful yang juga seorang seniman
ini.
Siswa
SD yang datang akan diajari untuk bikin sketsa dengan menggunakan tinta terbuat
dari getah tanaman atau membuat kerajinan, mainan dari bahan-bahan bekas. Misalnya
dari sabut kelapa Syaiful mengajarkan pada anak-anak, bahan ini bisa dibuat
menjadi aneka mainan. Batok kelapa menjadi topeng dan hiasan dinding. “Apalagi
kalau mereka jauh-jauh hari sudah memberitahu kalau akan kesini pasti akan saya
siapkan semua bahan-bahannya,” ujar Syaiful penuh semangat.
Di
pos penjaga berukuran 5 x 5 meter yang letaknya tak jauh dari bangunan candi Tawang
Alun, setelah membersihkan candni dari rumput yang menempel didindingnya,
Syaiful menggeluti profesi senimannya. Berteman palu dan betel/tatah, Syaiful
mulai membentuk sekumpulan fosil kerang yang membatu untuk dibentuk menjadi
arca/patung.
Kecintaan
Syaiful kepada sejarah nenek moyangnya, pengabdiannya yang tanpa pamrih ini
seharusnya disambut baik dengan adanya kepedulian pihak terkait untuk melakukan
penelitian serta turut serta merawat juga melestrikan salah satu cagar budaya
yang ada di desa Buncitan ini. YUS
Naskah
dan foto:Yupiter Sulifan