Fahmi Aditya Laksana,
Juara Nasional Bahasa Inggris SMP RSBI 2012:
Calon Astronot yang
Gemar Novel Inggris
Fahmi, begitu cowok berpostur 167 cm ini biasa disapa teman
dan gurunya, saat ini tengah menjadi selebritis dadakan di sekolahnya. Apa yang
dilakukan Fahmi? Rupanya Fahmi berhasil meraih medali perak dalam The 3rd
National Science Olympic SMP RSBI 2012 di Solo, Jawa Tengah.
Dalam lomba yang digelar pada 13-16 Februari 2012 itu tercatat
ada 1.336 peserta yang kesemuanya siswa SMP Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional dari seluruh Indonesia. Lomba tingkat nasional ini terbagi dalam
empat kategori, yakni Bahasa Inggris, Matematika, Fisika dan Biologi.
Di kategori Bahasa Inggris, siswa SMP yang terletak di desa
Kureksari ini berhasil menggaet medali perak. “Alhamdulillah, semua ini berkah
dari Alloh dan hasi kerja keras saya beserta ustadzah,” tutur Fahmi dengan mata
berbinar.
Saat berbincang dengan PENA di ruang tamu SMP yang dipimpin oleh
Ana Christanti, M.Pd ini, Fahmi didampingi Waka Humas, Dra. Hj. Roichatul
Djannah, mengaku senang dengan keberhasilan ini. Meskipun fahmi tidak berhasil
merebut medali emas, dirinya bisa berbangga hati karena sudah berhasil
menyisihkan ribuan peserta yang rata-rata cerdas lainnya.
Fahmi mengaku kalau keikutsertaannya kali ini merupakan
pengalamannya yang sangat berharga. “Maklumlah, saya sudah mengikuti berbagai
macam lomba dan ikut lomba yang inilah saya mendapatkan medali perak dan
tingkat nasional lagi,”kata Fahmi dengan penuh bangga dan yang bercita-cita
jadi Astronot.
Remaja tanggung yang bermukim bersama orang tua dikawasan
Margorejo Indah Surabaya ini mengaku kalau menyenangi pelajaran bahasa Inggris
sejak masih dibangku TK. Bahkan oleh kedua orang tuanya, Imam Teguh Santoso, ST. dan dr.
Lakhsmie Herwati Yuwantina, Fahmi diikutkan les disebuah lembaga pendidikan
bahasa Inggris di Surabaya.
Karena
ketekunan dan minat yang tinggi untuk bisa mempelajari bahasa Inggris inilah,
oleh pihak sekolah Fahmi sering diikutkan berbagai lomba. Mental juara sudah
mulai terbentuk semenjak mengikuti berbagai lomba tadi dan tidak mengherankan
kalau akhirnya Fahmi bisa meraih medali perak di lomba tingkat nasional.
Anak
pertama dari saudara kembar ini memperdalam kemampuan bahasa Inggrisnya di
lembaga bahasa Inggris EF Surabaya. Melihat hobi yang digemari Fahmi, mungkin
akan sangat menunjang keberhasilan dia dibidang bahasa Inggris. “Novel bahasa
Inggris serta beberapa bacaan berat lainnya yang semuanya menggunakan bahasa
Inggris,” kata Dra. Hj. Roichatul Djannah saat mendampingi Fahmi
berbincang dengan PENA.
Ikut Club Olimpiade
Guna
menghadapi olimpiade tingkat nasional ini Fahmi dibimbing oleh guru bahasa
Inggris, ustadzah Ichwati. “Sekolah menyiapkan semua siswanya untuk mengikuti olimpiade
sudah jauh-jauh hari jadi bukan mendadak,” urai Dra. Hj. Roichatul
Djannah selaku Waka Humas SMP AL Falah Deltasari kepada PENA.
Dra. Hj. Roichatul Djannah menjelaskan kalau setiap hari
Sabtu ada club olimpiade yang memang dikhususkan untuk siswa yang akan
dipersiapkan mengikuti olimpiade. Disamping ada club olimpiade juga penjaringan
siswa berprestasi melalui kegiatan class meet. “Di arena class meet inilah
sekolah bisa menggali potensi siswa
baik dari bidang akademis dan non akademis. Dari sinilah sekolah akan
memperdalam kemampuan yang dimiliki siswa dan yang nantinya akan menjadi
perwakilan sekolah ke lomba-lomba,” ujar Dra. Hj. Roichatul Djannah yang
sekaligus sebagai Waka Kesiswaan.YUS
Caption:
- Fahmi Aditya Laksana berpose dengan medali perak serta
tropy juara kebanggaannya.
- Dra. Hj. Roichatul Djannah
mendampingi Fahmi saat wawancara dengan PENA.
- Fahmi bersama Ana Cristiana, M.Pd. Kepala SMP Al Falah
dan Ichwati, guru Bahasa Inggris sesaat setelah pengumuman pemenang.
- Fahmi berfoto bersama dengan pemenang lainnya.
(foto-2:YUS dan istimewa)
Biodata
Tempat/tanggal
lahir : Jombang, 2 Maret 1998
Anak
ke SATU dari DUA bersaudara.
Nama
Ayah : Imam Teguh Santoso, S.T.
Pekerjaan
Ayah : TNI-AL
Nama
Ibu : dr. Lakhsmie Herwati Yuwantina
Pekerjaan
Ibu : Dokter RSUD Sidoarjo
Sekolah
SMP Al Falah Deltasari Waru Sidoarjo kelas IX-1 RSBI
Hobi
: Baca Buku, main internet, main game
Alamat
rumah : Margorejo Indah XI B311A-312 Surabaya
Prestasi
yang pernah diraih :
1.
Peraih medali perak di Kejuaraan Bahasa Inggris tingkat Nasional 2012
2.
Peraih juara II di LEO “Libels English Olympiad” di SMAN 15 Surabaya 2011
3.
Peraih juara V di S2EC di SMAN 5 Surabaya 2011
Cita-cita
: ASTRONOT
Aktifitas
di sekolah/ekstrakurikuler : Ikut Ekskul Robotika, dan ekskul Club Olimpiade
Bahasa Inggris
Aktifitas
di rumah : Membaca buku, novel Inggris dan merakit robot
Kursus
yang diikuti : Les Bahasa Inggris di EF Surabaya
Henny Suprihatin,
Kepala SDN Kletek Sepanjang Taman:
Menanamkan Rasa
Percaya Diri Sedari Dini

Pendidikan karakter hanya
akan menjadi sekadar wacana jika tidak dipahami secara lebih utuh dan
menyeluruh dalam konteks pendidikan nasional kita. Bahkan, pendidikan karakter
yang dipahami secara parsial dan tidak tepat sasaran justru malah bersifat
kontraproduktif bagi pembentukan karakter anak didik.
Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.
Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka.
Pendekatan parsial yang tidak didasari pendekatan pedagogi yang kokoh alih-alih menanamkan nilai-nilai keutamaan dalam diri anak, malah menjerumuskan mereka pada perilaku kurang bermoral.
Selama ini, jika kita berbicara tentang pendidikan karakter, yang kita bicarakan sesungguhnya adalah sebuah proses penanaman nilai yang sering kali dipahami secara sempit, hanya terbatas pada ruang kelas, dan sering kali pendekatan ini tidak didasari prinsip pedagogi pendidikan yang kokoh.
Sebagai contoh, untuk menanamkan nilai kejujuran, banyak sekolah beramai- ramai membuat kantin kejujuran. Di sini, anak diajak untuk jujur dalam membeli dan membayar barang yang dibeli tanpa ada yang mengontrolnya. Dengan praksis ini diharapkan anak-anak kita akan menghayati nilai kejujuran dalam hidup mereka.
Padahal nilai-nilai kejujuran
dalam konteks pendidikan telah diinjak-injak, seperti mencontek, menjiplak
karya orang lain, melakukan sabotase, vandalisme halaman buku yang disimpan di
perpustakaan, dan simulasi, yaitu mengaku telah mengumpulkan dan mengerjakan
tugas, padahal sebenarnya tidak.
Hal-hal inilah yang mesti
diseriusi oleh para pendidik jika ingin menanamkan nilai kejujuran dalam
konteks pendidikan. Mencontek telah
menjadi budaya dalam lembaga pendidikan kita. Ia bukan hanya berkaitan dengan
kelemahan individu per individu, melainkan telah membentuk sebuah kultur
sekolah yang tidak menghargai kejujuran. Masifnya perilaku ketidakjujuran itu
telah menyerambah dalam diri para pendidik, siswa, dan anggota komunitas
sekolah lain. Untuk itu, pendekatan yang lebih utuh dan integrallah yang
dibutuhkan untuk melawan budaya tidak jujur ini.
Penanaman nilai-nilai kejujuran jika ingin efektif dan utuh setidaknya menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis ini, penanaman nilai-nilai kejujuran di sekolah hanya menjadi wacana semata.
Pertama, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteksnya adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan kejujuran dalam berbagai hal.
Kedua, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter jujur pada anak didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Pemberian pesan tentang nilai-nilai kejujuran dalam upacara bendera setiap hari Senin,salah satu contohnya.
Ketiga, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter jujur dalam konteks kehidupan mereka. Orang tua sebagai mitra sekolah untuk turut serta membentuk karakter jujur pada peserta didik. Setiap menjelang ujian sekolah atau UN, orang tua selalu diundang dan diajak dialog tentang pemberian motivasi dan menenanamkan rasa percaya diri pada anak. Anak diberi keyakinan bahwa kemampuan seseorang itu berbeda dan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Percaya dengan kemampuan sendiri itu lebih baik dan terhormat daripada melakukan hal-hal yang bersifat curang.
Penanaman nilai-nilai kejujuran jika ingin efektif dan utuh setidaknya menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis ini, penanaman nilai-nilai kejujuran di sekolah hanya menjadi wacana semata.
Pertama, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteksnya adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan kejujuran dalam berbagai hal.
Kedua, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter jujur pada anak didik. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran. Pemberian pesan tentang nilai-nilai kejujuran dalam upacara bendera setiap hari Senin,salah satu contohnya.
Ketiga, desain penanaman nilai-nilai kejujuran berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter jujur dalam konteks kehidupan mereka. Orang tua sebagai mitra sekolah untuk turut serta membentuk karakter jujur pada peserta didik. Setiap menjelang ujian sekolah atau UN, orang tua selalu diundang dan diajak dialog tentang pemberian motivasi dan menenanamkan rasa percaya diri pada anak. Anak diberi keyakinan bahwa kemampuan seseorang itu berbeda dan mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Percaya dengan kemampuan sendiri itu lebih baik dan terhormat daripada melakukan hal-hal yang bersifat curang.
Diakui atau tidak, dasar dari
pendidikan anak adalah keluarga dan disinilah penanaman nilai-nilai kejujuran
pertama kali dilakukan. Terutama peran serta orang tua, sejak bangun tidur
hingga tidur kembali, pendidikan kejujuran harus selalu tertanam. Dan sedari
awal, penanaman nilai-nilai kejujuran dan disiplin ini harus diberikan ke
peserta didik. Penanaman nilai-nilai kejujuran akan bisa efektif jika tiga
desain ini dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan kita
hanya akan menciptakan manusia-manusia yang tidak jujur dan tidak disiplin. YUS
Bambang Guridno,
S.Pd., Kepala SDN Tambaksumur Waru:
Membatasi Peran Serta
Orang Tua Murid
Tahun ini pemerintah melarang
semua sekolah penerima dana BOS, menarik pungutan kepada siswa dengan
mengatasnamakan apa pun. Hal ini diperkuat dengan Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 60 Tahun 2011 tentang Larangan Pungutan di
SD dan SMP.
Banyak yang mengkhawatirkan kalau sumbangan tersebut akan berpengaruh pada proses belajar siswa. Sebab, dimungkinkan siswa yang memberikan sumbangan kepada sekolah akan mendapat perlakuan khusus dari pihak sekolah dan menimbulkan ketidakadilan.
Banyak yang mengkhawatirkan kalau sumbangan tersebut akan berpengaruh pada proses belajar siswa. Sebab, dimungkinkan siswa yang memberikan sumbangan kepada sekolah akan mendapat perlakuan khusus dari pihak sekolah dan menimbulkan ketidakadilan.
Padahal dalam kenyataannya,
keberhasilan pendidikan itu bukan hanya dibebankan pada pihak sekolah saja yang
setiap hari mendidik peserta didiknya. Melainkan adanya peran serta masyarakat
termasuk orang tua murid, donator dan dunia industry atau usaha. Termasuk dalam
hal ini adalah urusan dana yang berguna untuk menunjang keberhasilan pendidikan
peserta didik. Kalau yang sebelumnya, sumbangan dari orangg tua murid berdasar
kemampuan serta kesanggupan untuk menyumbang dengan catatan tanpa adanya
paksaan dari pihak sekolah.
Setelah adanya Permen Nomor
60 tahun 2011 maka semua ini dilarang. Seolah, keberadaan Peraturan menteri ini
membatasi peran serta masyarakat terutama orang tua murid dalam membantu mensukseskan
keberhasilan pendidikan.
Dampaknya, bila pihak sekolah
mempunyai proyek besar yang nilainya diatas 10 juta, maka akan dikonsultasikan
ke kepala cabdin mencari solusi terbaiknya. Dan khusus untuk proyek-proyek
besar maka pihak sekolah akan menghentikannya. Walau semua proyek itu
sebenarnya untuk kepentingan kemajuan pendidikan peserta didik itu sendiri.
Antisipasinya, mengingat
bantuan pemerintah itu hanya untuk ruang kelas dan inipun masih dibatasi
jumlahnya,misalnya ada empat kelas yang rusak dan disetujui hanya tiga ruang
kelas, maka disiati dengan melalui biaya perawatan.
Selain itu setidaknya
pemerintah memberikan bantuan itu bukan hanya dikhususkan pada ruang kelas saja
melainkan juga fasilitas-fasilitas sekolah lainnya. Misalnya, ruang UKS,
perpustakaan, parkir sepeda siswa, ataupun tembok pembatas sekolah. Keberadaan
fasilitas-fasilitas sekolah ini sangat menunjang keberhasilan peserta didik
dalam menuntut ilmu di sekolah.
Khusus di Sidoarjo, sebisa
mungkin tidak melarang bantuan sukarela dari masyarakat atau orang tua murid ke
sekolah. Juga pemerintah tidak ”mengharamkan” jika sekolah menerima bantuan
atau sumbangan dari pihak mana pun termasuk dari wali murid.
Dengan catatan. sumbangan
tersebut bersifat tidak mengikat dan semua sumbangan yang masuk ke sekolah
harus tercatat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS).
Kalaupun ada ‘keringanan’ memberikan sumbangan dari orang tua murid, namun ini semua harus memiliki batasan dan kejelasan. Jangan sampai hal tersebut menyebabkan perbedaan perlakuan anak di sekolah. Kejelasan seperti apa, batasan seperti apa, apa saja yang diperbolehkan. Jangan sampai ada anak yang mendapat prioritas dibandingkan dengan anak yang lain.
Bagi pemerintah, kalaupun sekolah tidak boleh mengadakan pungutan kepada orang tua siswa maka pengoptimalisasi dari dana BOS daerah. Dan alokasinya minimal 20% dari APBD ini benar-benar direalisasikan. Dan, kalaupun bisa Permen Nomor 60 tahun 2011 ini ada peninjauan ulang mengingat kondisi di lapangan yang sangat beragam apalagi dengan sosialisasi yang relative minim. YUS
Kalaupun ada ‘keringanan’ memberikan sumbangan dari orang tua murid, namun ini semua harus memiliki batasan dan kejelasan. Jangan sampai hal tersebut menyebabkan perbedaan perlakuan anak di sekolah. Kejelasan seperti apa, batasan seperti apa, apa saja yang diperbolehkan. Jangan sampai ada anak yang mendapat prioritas dibandingkan dengan anak yang lain.
Bagi pemerintah, kalaupun sekolah tidak boleh mengadakan pungutan kepada orang tua siswa maka pengoptimalisasi dari dana BOS daerah. Dan alokasinya minimal 20% dari APBD ini benar-benar direalisasikan. Dan, kalaupun bisa Permen Nomor 60 tahun 2011 ini ada peninjauan ulang mengingat kondisi di lapangan yang sangat beragam apalagi dengan sosialisasi yang relative minim. YUS